Tak jarang, kala duduk di balik meja
kerja, memandangi tumpukan tugas atau lembar-lembar ujian mahasiswa yang
menunggu digrading dan dikembalikan, hati saya berdesir lirih: Untuk apa semua
ini? Apakah cukup bila mahasiswa sekadar mengenal istilah ilmiah, menghafal
jalur metabolisme, atau paham prinsip fermentasi? Atau, barangkali,
sesungguhnya tugas kita melampaui itu, yakni menyuluh semangat mereka, agar
berani mencipta sesuatu yang nyata, yang bisa disentuh, dicium aromanya,
dirasakan manfaatnya, dan kelak mengubah dunia?
Senin siang lalu, pertanyaan-pertanyaan
itu seolah mulai menemukan jawabnya. Penutup kelas Bioenterpreneur hari
itu menjelma menjadi panggung maha indah. Tak seperti biasanya, kali ini saya
bukan pusat sorotan. Saya memilih menepi, membiarkan sorot tertuju pada mereka,
para mahasiswa yang berdiri tegak, menggendong mimpi-mimpi mereka sendiri.
Kelompok pertama melangkah maju, tangan
mereka menenteng botol-botol bening berlabel estetik dgn brand unik yg mereka
cipta. Isinya: cairan hand sanitizer berbasis eco enzym. Saya masih ingat
bagaimana mata mereka menyala saat berkisah tentang ampas buah, kulit sayur,
dan sisa air dapur yang mereka sulap menjadi cairan yang dapat membersihkan
tangan sekaligus merawat bumi. Bukan sekadar produk, melainkan semacam doa
senyap agar bumi tak terus-menerus merintih menanggung luka-luka limbah. Betapa
mulia cita-cita yang lahir dari botol kecil itu.
Lalu tampil kelompok berikutnya, membawa
botol-botol berisi teh kombucha, cairan minuman keemasan, dengan
gelembung-gelembung mungil yang menari lincah di permukaannya. Saya
mencicipnya. Rasanya asam-manis, tajam namun memikat, seolah ada kehidupan yang
sedang berpesta di lidah saya. Tanpa gugup, mereka mengurai proses fermentasi,
manfaat kesehatan, hingga analisis usaha dan strategi pemasaran. Saya tertegun,
sebab di balik setetes kombucha itu, bersemayam hasrat menjaga kesehatan
manusia sekaligus merawat akar budaya yang nyaris terpinggirkan.
Dan akhirnya, kelompok terakhir berdiri
penuh percaya diri membawa seonggok kompos hasil kreasi mereka. Kompos yang
hitam legam, lembap, memancarkan aroma tanah yang begitu harum. Bukan bau busuk
yang menusuk hidung, melainkan wangi yang mengingatkan kita akan hujan pertama
yang jatuh di bumi kering. Mereka berbicara fasih tentang detail proses
dekomposisi, suhu dan aerasi yang mesti dijaga, kadar air yang pas, hingga
bagaimana kompos itu sanggup mengembalikan kesuburan tanah yang telah mereka
cobakan pada tanaman Kangkung. Saya tercenung. Bukan karena kehabisan kata,
melainkan karena dada saya terasa penuh oleh satu rasa: bangga. Bangga bukan
semata karena saya telah mengajarkan banyak hal, tetapi karena mereka telah
melampaui apa yang saya arahkan.
Mereka merancang, menguji, mengulang,
bahkan tersandung kegagalan, alu bangkit
kembali. Mereka belajar bukan hanya dari buku, melainkan dari fermentasi yang
meleset, dari aroma kompos yang belum sempurna, dari label produk yang terlalu
lama dicetak. Mereka tak lagi sekadar bertanya “apa jawabannya?”, melainkan
dengan mata berbinar menantang bertanya: “Apa solusinya?” Dan di sanalah
terjadi transformasi sejati, ketika mahasiswa belajar mencipta, bukan hanya
menerima.
Saya ingin berkata, dengan penuh
keyakinan: di ruang-ruang kelas kecil Jurusan Pendidikan Biologi ini, sedang
tumbuh benih-benih wirausaha sains. Bukan wirausaha yang hanya mengejar laba
dan benefit semta, tetapi wirausaha yang membawa idealisme tentang bumi yang
lestari, pangan yang sehat, dan teknologi yang lebih manusiawi. Apa yang mereka
hasilkan bukan sekadar produk tugas. Ia adalah cermin dari sesuatu yang lebih
dalam: percaya diri mereka, daya cipta mereka, dan harapan mereka pada
masa depan.
Sungguh, hari itu saya merasa menjadi dosen adalah pekerjaan paling indah. Bukan karena saya berdiri di depan kelas, tetapi karena saya berkesempatan berjalan di belakang mereka, menyaksikan langkah mereka semakin berani, dengan keyakinan yang tak lagi bergantung sepenuhnya pada saya. Jika suatu hari nanti ada tangan-tangan di luar sana yang menyentuh produk buatan mereka, yang merasakan manfaatnya, yang menghargai prosesnya maka hari itu, pendidikan tak lagi hanya soal nilai, tapi soal nilai hidup. Dan bukankah itu yang sebenarnya kita perjuangkan?, melihat ilmu menjelma cahaya, dan menyaksikan manusia-manusia muda tumbuh berani menafsirkan dunia dengan karya-karya mereka sendiri. Insya Allah. [HF]
Oleh: Prof. Dr. Hafsan S.Si., M.Pd.