Prof. Dr. Hafsan S.Si., M.Pd. : Mahakarya dari Panggung Bioenterpreneur

  • 12:46 WITA
  • Ummul Hasanah
  • Artikel

Tak jarang, kala duduk di balik meja kerja, memandangi tumpukan tugas atau lembar-lembar ujian mahasiswa yang menunggu digrading dan dikembalikan, hati saya berdesir lirih: Untuk apa semua ini? Apakah cukup bila mahasiswa sekadar mengenal istilah ilmiah, menghafal jalur metabolisme, atau paham prinsip fermentasi? Atau, barangkali, sesungguhnya tugas kita melampaui itu, yakni menyuluh semangat mereka, agar berani mencipta sesuatu yang nyata, yang bisa disentuh, dicium aromanya, dirasakan manfaatnya, dan kelak mengubah dunia?

Senin siang lalu, pertanyaan-pertanyaan itu seolah mulai menemukan jawabnya. Penutup kelas Bioenterpreneur hari itu menjelma menjadi panggung maha indah. Tak seperti biasanya, kali ini saya bukan pusat sorotan. Saya memilih menepi, membiarkan sorot tertuju pada mereka, para mahasiswa yang berdiri tegak, menggendong mimpi-mimpi mereka sendiri.

Kelompok pertama melangkah maju, tangan mereka menenteng botol-botol bening berlabel estetik dgn brand unik yg mereka cipta. Isinya: cairan hand sanitizer berbasis eco enzym. Saya masih ingat bagaimana mata mereka menyala saat berkisah tentang ampas buah, kulit sayur, dan sisa air dapur yang mereka sulap menjadi cairan yang dapat membersihkan tangan sekaligus merawat bumi. Bukan sekadar produk, melainkan semacam doa senyap agar bumi tak terus-menerus merintih menanggung luka-luka limbah. Betapa mulia cita-cita yang lahir dari botol kecil itu.

Lalu tampil kelompok berikutnya, membawa botol-botol berisi teh kombucha, cairan minuman keemasan, dengan gelembung-gelembung mungil yang menari lincah di permukaannya. Saya mencicipnya. Rasanya asam-manis, tajam namun memikat, seolah ada kehidupan yang sedang berpesta di lidah saya. Tanpa gugup, mereka mengurai proses fermentasi, manfaat kesehatan, hingga analisis usaha dan strategi pemasaran. Saya tertegun, sebab di balik setetes kombucha itu, bersemayam hasrat menjaga kesehatan manusia sekaligus merawat akar budaya yang nyaris terpinggirkan.

Dan akhirnya, kelompok terakhir berdiri penuh percaya diri membawa seonggok kompos hasil kreasi mereka. Kompos yang hitam legam, lembap, memancarkan aroma tanah yang begitu harum. Bukan bau busuk yang menusuk hidung, melainkan wangi yang mengingatkan kita akan hujan pertama yang jatuh di bumi kering. Mereka berbicara fasih tentang detail proses dekomposisi, suhu dan aerasi yang mesti dijaga, kadar air yang pas, hingga bagaimana kompos itu sanggup mengembalikan kesuburan tanah yang telah mereka cobakan pada tanaman Kangkung. Saya tercenung. Bukan karena kehabisan kata, melainkan karena dada saya terasa penuh oleh satu rasa: bangga. Bangga bukan semata karena saya telah mengajarkan banyak hal, tetapi karena mereka telah melampaui apa yang saya arahkan.

Mereka merancang, menguji, mengulang, bahkan tersandung kegagalan,  alu bangkit kembali. Mereka belajar bukan hanya dari buku, melainkan dari fermentasi yang meleset, dari aroma kompos yang belum sempurna, dari label produk yang terlalu lama dicetak. Mereka tak lagi sekadar bertanya “apa jawabannya?”, melainkan dengan mata berbinar menantang bertanya: “Apa solusinya?” Dan di sanalah terjadi transformasi sejati, ketika mahasiswa belajar mencipta, bukan hanya menerima.

Saya ingin berkata, dengan penuh keyakinan: di ruang-ruang kelas kecil Jurusan Pendidikan Biologi ini, sedang tumbuh benih-benih wirausaha sains. Bukan wirausaha yang hanya mengejar laba dan benefit semta, tetapi wirausaha yang membawa idealisme tentang bumi yang lestari, pangan yang sehat, dan teknologi yang lebih manusiawi. Apa yang mereka hasilkan bukan sekadar produk tugas. Ia adalah cermin dari sesuatu yang lebih dalam: percaya diri mereka, daya cipta mereka, dan harapan mereka pada masa depan.

Sungguh, hari itu saya merasa menjadi dosen adalah pekerjaan paling indah. Bukan karena saya berdiri di depan kelas, tetapi karena saya berkesempatan berjalan di belakang mereka, menyaksikan langkah mereka semakin berani, dengan keyakinan yang tak lagi bergantung sepenuhnya pada saya. Jika suatu hari nanti ada tangan-tangan di luar sana yang menyentuh produk buatan mereka, yang merasakan manfaatnya, yang menghargai prosesnya maka hari itu, pendidikan tak lagi hanya soal nilai, tapi soal nilai hidup. Dan bukankah itu yang sebenarnya kita perjuangkan?, melihat ilmu menjelma cahaya, dan menyaksikan manusia-manusia muda tumbuh berani menafsirkan dunia dengan karya-karya mereka sendiri. Insya Allah. [HF]


Oleh: Prof. Dr. Hafsan S.Si., M.Pd